Nih buat jajan

Komoditas sarang burung walet: Industri triliunan yang berdampak pada mata pencaharian petani kecil

Mia Dunphy, The University of Melbourne

Permintaan global terhadap sarang burung walet (SBW) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kelas menengah di Asia Timur. Sering disebut sebagai ‘kaviar dari Timur’, SBW adalah salah satu produk hewani termahal yang dikonsumsi manusia yang harga ecerannya bisa mencapai US$10.000 (setara Rp150 juta) per kilogram.

SBW adalah sarang yang terbuat dari jalinan air liur burung walet (Aerodramus spp.) yang mengeras dan bisa ditemukan di seluruh Asia Tenggara. Sarang berbentuk setengah mangkuk ini dihargai karena manfaat kesehatan dan kecantikannya, dan umumnya dikonsumsi menjadi panganan sup SBW atau dioleskan pada kulit.

Indonesia memasok 80% pasokan sarang burung walet global. Ini menempatkan Indonesia sebagai produsen SBW terbesar di dunia. Sejak tahun 2012, ekspor SBW Indonesia meningkat lebih dari tiga kali lipat, mencapai lebih dari 1.300 ton pada tahun 2023 dan bernilai lebih dari US$633 juta (Rp9,8 triliun). Ekspansi yang pesat ini didorong gencarnya kerja sama bilateral pemerintah Indonesia dengan Hong Kong dan Cina dalam urusan perdagangan.

Pada tahun 2021, Menteri Pertanian Indonesia saat itu, Syahrul Yasin Limpo, menyoroti kesiapan negara untuk memenuhi permintaan pasar global tersebut. “Pasar SBW terbuka lebar, dan Indonesia memiliki kapasitas produksi,” katanya.

Namun, apa dampaknya bagi petani kecil di pedesaan yang bekerja di sektor ekstraktif dalam rantai pasok produksi SBW?

Untuk penelitian doktoral saya, saya mewawancarai 85 orang laki-laki dan perempuan petani/peternak SBW antara tahun 2021 dan 2023 di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saya melakukan penelitian lapangan selama lebih dari 10 bulan untuk mengetahui bagaimana dan mengapa para petani skala kecil melibatkan diri dalam industri yang menguntungkan namun penuh ketidakpastian ini, dan bagaimana intensifikasi perdagangan SBW telah mempengaruhi penghidupan mereka.

Napak tilas sejarah komoditas sarang burung walet nasional

Sejak berabad-abad lalu, masyarakat adat dan lokal memanen SBW dari burung walet yang bersarang di gua-gua pesisir pantai atau di pegunungan pedalaman untuk diperdagangkan dengan pedagang Cina.

Berbeda dengan kelompok lain di Kalimantan, penduduk di pedesaan Kalimantan Barat, tempat saya melakukan penelitian, baru mulai memanen SBW pada awal tahun 1990an ketika harga global naik. Pemanen di dataran tinggi Kapuas Hulu, Kalimantan Barat ini—yang biasanya adalah laki-laki dewasa—sudah memanen sarang dari gua-gua produktif SBW sejak tahun 1990an. Mereka tinggal dan bekerja di gua SBW selama beberapa bulan, sementara istri mereka tinggal di desa untuk menjaga anak-anak dan lahan pertanian. Salah satu penjaga gua SBW mengatakan, “Kami menjaga sekitar 2 bulan. Setelah panen, kita jaga lagi 2 bulan lagi. Tidak pulang”.

Karena dipanen secara berlebihan, jumlah sarang alami yang ada dalam gua berkurang. Degradasi produksi sarang burung walet mengalami puncaknya dalam satu dekade terakhir. Salah satu responden yang bekerja di gua SBW menyatakan, “Tidak ada pengawetan sarangnya, sehingga sebelum telur menetas dan burung bisa terbang, sudah dipanen”.

Sejak itu, bentuk-bentuk baru pemanenan SBW bermunculan seiring dengan banyak rumah tangga di seluruh kabupaten memanfaatkan jalur baru SBW dengan berinvestasi dan membangun rumah walet (sebutan warga lokal terhadap kandang penangkaran burung walet) mereka sendiri. Pasalnya, tuntutan industri, budidaya atau ‘peternakan’ burung walet tak terhindarkan.

Alhasil, situs budidaya yang biasa disebut rumah walet semakin banyak ditemukan di wilayah pinggiran kota dan daerah pedesaan di Indonesia. Banyak keluarga membangun infrastruktur tersebut dengan harapan mendapatkan keuntungan yang besar.

Salah satu pedagang SBW dari Kapuas Hulu menyebutkan, “Saya kira di daerah ini ada lebih dari 500 rumah walet. Yang pasti setiap tahun dibangun rumah walet baru, artinya setiap bulan bertambah puluhan rumah walet baru. Jadi, masyarakat saat ini tidak berhenti membangun rumah walet, mengumpulkan uang, membangun rumah walet, mengumpulkan uang, membangun rumah walet”.

Kesenjangan yang mulai terlihat akibat rumah walet

Sarang yang dipanen dari rumah walet lebih bersih, bentuknya lebih bagus, dan harganya jauh lebih tinggi dibandingkan sarang yang dipanen dari gua. Di Kapuas Hulu, saya menemukan sarang putih dari rumah walet bisa dijual hingga Rp20 juta per kilogram—sangat berbeda dengan sarang hasil panen alami di gua yang harganya maksimal Rp3 juta.

Bagi petani kecil di pedesaan di Kapuas Hulu, membangun rumah walet merupakan investasi besar yang dapat menghabiskan biaya antara Rp100-500 juta, tergantung ukuran dan bahan bangunan. Namun, meski rumah walet sudah dibangun, balik modalnya bisa membutuhkan waktu lama—kadang walet memerlukan waktu bertahun-tahun untuk bertengger dan menghasilkan sarang.

Meskipun tidak ada desain atau tata letak yang baku dalam pembuatan rumah walet yang ‘sukses’, bahan bangunan (semen, kayu, dll) dan atribut sensorik tertentu sangatlah penting. Misalnya, suara burung walet yang diputar dari pengeras suara internal dan eksternal untuk menarik burung ke rumah walet. Seorang responden di Kapuas Hulu mengungkapkan, “Ada tempat khusus menaruh musik untuk walet, ada suara panggilan, suara untuk inap dan otomatis sesuai jam aktif suara”.

Industri SBW di Kapuas Hulu memicu kesenjangan kekayaan yang semakin mendalam. Seorang laki-laki yang saya wawancarai memanen sekitar 18-25 kilogram SBW per bulan, dengan hasil yang bisa mencapai Rp450 juta setiap bulannya. Sementara, banyak rumah tangga di pedesaan yang kesulitan untuk mencapai setengah kilogram sarang.

Saya juga menemukan bahwa rumah tangga kaya semakin intensif berinvestasi di industri ini. Mereka mampu membangun rumah walet yang lebih besar dan canggih dengan tenaga kerja terampil dan bahan-bahan berkualitas tinggi sehingga memperoleh keuntungan luar biasa. Ini semakin mengkonsolidasikan keunggulan pasar mereka dibandingkan produsen kecil.

Banyak rumah tangga miskin yang juga tertarik pada rumah walet sebagai mata pencaharian utama dengan harapan bahwa suatu hari mereka akan memperoleh keuntungan besar. Mereka berinvestasi, menabung atau mengambil pinjaman, untuk membangun rumah walet tanpa ada jaminan bahwa burung walet akan menghuni rumah walet yang mereka bangun. Faktanya, banyak rumah walet gagal menghasilkan keuntungan karena hama tikus atau lingkungan yang salah.

Ketika pemanen kaya dapat berinvestasi pada produk-produk khusus, membangun banyak rumah walet, dan memperluas operasi mereka, banyak pemanen skala kecil yang masih rentan secara finansial dan bergantung pada pinjaman dengan ketidakpastian hasil investasi mereka. Namun, insentif finansial yang mereka dapatkan dalam jumlah kecil setiap bulannya sudah cukup memberikan harapan akan nasib mereka di masa depan.

Sebagian besar masyarakat miskin di pedesaan—khususnya mereka yang tidak memiliki kepemilikan tanah yang permanen dan tidak mampu membangun rumah walet—menganggap bahwa memiliki rumah walet merupakan tanda ‘sukses’. Dinamika baru ini kini menjadi bagian dari perencanaan penghidupan keluarga. Salah satu responden menuturkan, “Saya berencana membangun rumah walet juga jika saya punya uang. Saya tergiur dengan harga sarang burung walet yang juga cukup bagus, dan kita juga mencari nafkah, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan satu sumber penghasilan saja”.

Strategi mata pencaharian di tengah ketidakpastian investasi

Meningkatnya industri SBW mencerminkan adanya peluang dan ketidakpastian bagi petani skala kecil di pedesaan. Keuntungan yang tinggi sebagai daya tarik utama telah mendorong banyak rumah tangga untuk berinvestasi besar-besaran, sering kali melalui tabungan atau pinjaman. Namun, keberhasilan dari investasi ini sangat tidak pasti dan bahkan berisiko mengalami kerugian besar.

Di tengah ketidakpastian ini, rumah tangga mempertahankan strategi penghidupan yang beragam, menyeimbangkan pertanian, tenaga kerja di luar pertanian, dan aktivitas kewirausahaan untuk mempertahankan ketahanan ekonomi seperti misalnya dengan menyadap karet atau bekerja sebagai tukang.

Penelitian saya menunjukkan bahwa mata pencaharian yang beragam dapat mendistribusikan risiko ekonomi dan lingkungan untuk menyeimbangkan potensi keuntungan dan ketidakpastian.

Di Kapuas Hulu, perempuan memainkan peran penting dalam menjalankan aktivitas berbasis pertanian untuk menjaga keamanan mata pencaharian. Meskipun suami mereka umumnya melakukan kegiatan di luar pertanian seperti mengelola rumah walet atau bekerja di gua SBW, banyak istri yang mengelola ladang, bercocok tanam, dan/atau membuka warung kecil. Saya menemukan bahwa rumah tangga di daerah pedesaan telah lama melibatkan diri dalam beragam aktivitas mata pencaharian sebagai manifestasi pemisahan perekonomian dan pengurangan ketergantungan pada suatu sumber pendapatan.

Seiring meningkatnya permintaan terhadap SBW, industri rumah walet di Indonesia sedang berada pada momentum penting. Industri ini dapat menawarkan masa depan yang berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan dan menjadi alternatif industri ekstraktif dengan keseimbangan yang tepat antara peluang ekonomi dan tanggung jawab lingkungan.

Untuk mendukung pertumbuhan dan keberlanjutan jangka panjang, masyarakat dapat memperoleh manfaat dari kebijakan seperti: penguatan akses dan kesetaraan pasar bagi petani kecil, serta pelatihan dan pedoman dalam pembangunan dan pengelolaan rumah walet, termasuk menjaga populasi dan ekosistem walet.The Conversation

Mia Dunphy, PhD Candidate, The University of Melbourne

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *