Nih buat jajan

Kopi gayo mendorong pemulihan Aceh, tapi menyisakan persoalan lingkungan

Hero Marhaento, Universitas Gadjah Mada ; Ardyanto Fitrady (Arfie); Eka Tarwaca Susila Putra; Stevie Nissauqodry, Universitas Gadjah Mada , dan Totok Dwi Diantoro

Kopi adalah komoditas yang tak lepas dari kehidupan masyarakat Aceh, terutama Aceh Tengah sebagai salah satu sentra produksi kopi arabika gayo.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Tengah (belum dipublikasi), ada sekitar 50 ribu hektare (ha) kebun kopi di daerah ini. Dengan jumlah petani kopi sekitar 39.475 orang, Aceh Tengah mampu memproduksi 36.532 ton kopi arabika gayo pada 2021.

Volume produksi tersebut mampu mencatatkan nilai kinerja ekspor yang signifikan yakni sekitar US$19 juta (Rp302 miliar) dan menopang kehidupan 70% warga setempat.

Yang menarik, seluruh perkebunan kopi di daerah ini dikelola oleh petani berskala kecil. Tak ada kawasan perkebunan yang dikuasai perusahaan besar.

Namun, penelitian kami (belum dipublikasi) dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan UNDP dari Proyek FOLUR (Food Systems, Land Use, and Restoration,) sepanjang tahun 2023-2024 menemukan persoalan keberlanjutan perkebunan kopi di Aceh Tengah. Sekitar 56% perkebunan kopi berada di dalam kawasan hutan, khususnya di area hutan lindung—area yang berfungsi untuk menjaga keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem seperti siklus air.

Tak ayal, berkurangnya hutan di Aceh Tengah berkontribusi pada kejadian banjir bandang. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan juga dapat memperburuk perubahan iklim dan kehilangan keberagaman hayati—yang bisa memengaruhi ketahanan pangan warga setempat.

Mengapa ini terjadi?

Untuk mendapatkan data sebaran kopi di Aceh Tengah, kami menggunakan kombinasi teknologi drone dan survei lapangan. Hasilnya, luas area budi daya kopi arabika gayo di Aceh Tengah mencapai 136 ribu ha, atau tiga kali lebih banyak dari data resmi yang dikeluarkan oleh BPS Aceh Tengah 2023.

Temuan ini juga mengindikasikan bahwa—selain tumpang tindih dengan kawasan hutan—ada begitu banyak perkebunan kopi di Aceh Tengah yang tidak tercatat.

Berdasarkan temuan kami, perambahan hutan terjadi karena sejumlah faktor, salah satunya adalah iklim di kawasan Aceh Tengah yang menghangat. Menurut Stasiun Meteorologi Sutan Iskandar Muda, dalam 30 tahun terakhir telah terjadi peningkatan laju peningkatan suhu udara 0,3°C per sepuluh tahun.

Situasi ini membuat area berketinggian 800-1200 meter di atas permukaan laut (MDPL) tidak efektif untuk menghasilkan kopi berkualitas. Berdasarkan observasi kami, para petani kemudian mencari area yang lebih tinggi, bahkan mencapai 1400 MDPL. Kebanyakan area dengan ketinggian tersebut merupakan kawasan hutan lindung.

Kopi sebenarnya tergolong komoditas yang boleh dibudidayakan di hutan lindung karena termasuk hasil hutan bukan kayu. Namun, praktik ini harus dilakukan tanpa menebang pohon.

Perubahan iklim yang menyebabkan kemarau ekstrem juga membuat tanaman kopi susah berbunga dan memudahkan penyebaran penyakit. Alhasil, produktivitas kopi menurun.

Berdasarkan wawancara kami dengan petani, produktivitas rata-rata kebun kopi di Aceh Tengah sekitar 400-500 kg/ha/tahun. Ini masih jauh dibawah potensi terbaiknya yang bisa mencapai 1.500 kg/ha/tahun, dan lebih rendah dari data pemerintah Aceh Tengah yakni 800 kg/ha/tahun.

Masalah produktivitas juga memaksa petani untuk merambah kawasan hutan. Pasalnya, akses petani kecil yang terbatas ke benih dan pupuk, kurangnya penyuluhan pertanian, membuat petani kesulitan untuk memanen kopi lebih banyak di lahan yang ada.

Kurangnya pengetahuan pun terlihat dari pendekatan petani membuka kebun kopi di kawasan hutan dengan sistem tebang habis. Artinya, petani membabat seluruh tanaman di suatu kawasan, sebelum ditanami oleh kopi dan tanaman penaung (pelindung sinar matahari langsung) seperti lamtoro.

Berdasarkan pengalaman kami dan sejumlah penelitian, praktik tebang habis jelas bukan cara budi daya yang baik karena berpotensi menghilangkan hara yang justru sudah tersedia dalam tanah. Selain itu, tanaman kopi sebenarnya dapat ditandur langsung dengan memanfaatkan tegakan pohon yang ada.

Membalikkan keadaan

Naiknya permintaan kopi dari luar maupun dalam negeri berisiko meningkatkan perluasan kebun kopi di kawasan hutan.

Berdasarkan pemodelan kami, perkebunan kopi berisiko terus merambah kawasan hutan lindung di Aceh Tengah di masa mendatang. Namun demikian, laju perluasan kebun kopi mungkin akan lebih rendah dibandingkan 20 tahun terakhir karena sudah tak banyak kawasan hutan yang tersisa untuk dibuka.

Kita semua perlu menyadari risiko ini. Persoalan alih fungsi hutan menjadi kebun kopi tak bisa sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani, melainkan juga pemerintah karena aktivitas penyuluhan pertanian kopi yang minim.

Perlu ada jalan tengah yang perlu dipersiapkan pemerintah untuk menjaga kelangsungan hutan sekaligus mempertahankan produksi kopi gayo yang berkelanjutan. Salah satu langkah yang sangat mungkin dilakukan adalah dengan sistem perhutanan sosial untuk menyelesaikan persoalan yang sudah terlanjur terjadi di perkebunan kopi di kawasan hutan.

Melalui sistem ini, petani bisa tetap melakukan budidaya kopi meski dengan larangan penebangan pohon dan kewajiban menanam kembali tanaman-tanaman kayu asli setempat.

Di Pulau Jawa, banyak budi daya kopi yang berhasil baik dengan memanfaatkan pinus sebagai tanaman penaung dalam bentuk agroforestri. Lahan berpinus banyak dijumpai di Aceh Tengah, tapi tidak banyak warga yang memanfaatkannya untuk menanam kopi.

Dengan perhutanan sosial sebagai alas hukum, masyarakat Aceh Tengah bersama pemerintah dapat mengembangkan sentra produksi kopi gayo melalui skema integrated area development (IAD). Sentra ini—dapat dibentuk dengan produksi kopi dari kebun agroforestri di dalam maupun di luar kawasan hutan—dapat meningkatkan produktivitas hingga nilai jual kopi gayo.

Solusi kedua adalah terkait dengan peningkatan kapasitas petani kopi arabika gayo, berikut akses mereka terhadap benih dan pupuk berkualitas. Peran pemerintah dalam melaksanakan solusi ini sangatlah sentral.

Pemerintah juga perlu menyediakan lebih banyak sekolah lapang iklim (SLI) dan merangsang petani di Aceh Tengah untuk menerapkan praktik pertanian yang baik. Harapannya, petani dapat mengetahui iklim yang berubah serta merancang solusi bersama untuk menjaga sumber penghidupan mereka.The Conversation

Hero Marhaento, Forest Resources Conservation Researcher, Universitas Gadjah Mada ; Ardyanto Fitrady (Arfie); Eka Tarwaca Susila Putra, Lecturer and Researcher; Stevie Nissauqodry, Dosen dan Peneliti, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada , dan Totok Dwi Diantoro

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *