Your cart is currently empty!
Riset: Orang yang kekurangan gizi berisiko lebih besar kena TB
Sepriani Timurtini Limbong, Foodagogik
Artikel ini untuk memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia pada 24 Maret 2025.
● Penelitian mengungkap orang dengan kekurangan gizi berisiko lebih besar terkena TB
● Banyak pasien TB mengalami kekurangan gizi akibat kesulitan finansial
● Penanganan TB lewat pemenuhan pangan dan gizi di Indonesia harus multisektoral
Sebagai negara berperingkat kedua dengan kasus tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia, Indonesia menyumbang 10% (sekitar satu juta kasus) dari total kasus TB global. Salah satu faktor signifikan yang meningkatkan risiko seseorang mengidap penyakit infeksi akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis ini adalah status gizi yang buruk.
TB dikaitkan dengan berbagai bentuk malnutrisi, seperti kekurangan gizi (undernutrition), defisiensi mikronutrien (kekurangan vitamin dan mineral), maupun kelebihan berat badan (obesitas).
Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kekurangan gizi berisiko tiga kali lebih besar terinfeksi TB.
Kekurangan gizi perbesar risiko TB
Kondisi kekurangan energi dan zat gizi penting yang dibutuhkan tubuh bisa melemahkan imunitas seluler (respons kekebalan yang libatkan sel T, makrofag, dan NK sel) yang berperan penting melawan bakteri penyebab TB. Akibatnya, orang dengan kekurangan gizi rentan mengalami tuberkulosis.
Di sisi lain, TB bisa memicu dan memperburuk kondisi kekurangan gizi. Infeksi ini menyebabkan orang dengan tuberkulosis mengalami penurunan berat badan yang signfikan.
Penurunan berat badan dapat meningkatkan risiko efek samping pengobatan, salah satunya hepatotoksisitas (kerusakan sel-sel hati akibat senyawa toksik) yang pada akhirnya bisa mengurangi efektivitas pengobatan.
Defisiensi mikronutrien juga umum terjadi pada penderita TB, meskipun hubungan sebab akibatnya belum dapat dipastikan. Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa pasien TB dengan kekurangan gizi cenderung memiliki kadar vitamin A dan zink yang lebih rendah.
Ketahanan pangan lemah perburuk risiko TB
Selain faktor fisik, TB juga bisa disebabkan oleh berbagai aspek sosial, antara lain ketidaksetaraan akses terhadap layanan kesehatan, sanitasi yang buruk, serta ketidakmampuan untuk menyediakan pangan sehat yang memadai.
Sebuah studi kasus di Etiopia menunjukkan bahwa kekurangan pangan di rumah tangga meningkatkan risiko terinfeksi TB paru aktif hingga dua kali lipat. Studi lain juga menemukan bahwa hampir satu dari lima pasien TB mengalami kerawanan pangan serta tidak memiliki cukup makanan untuk dikonsumsi. Kondisi ini bisa menyebabkan kekurangan gizi dan meningkatkan risiko terkena TB.
Kesulitan finansial merupakan penyebab utama pasien TB memiliki ketahanan pangan yang lemah. Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, sekitar 60% beban finansial orang dengan TB disebabkan oleh kehilangan pekerjaan.
Akibatnya, sekitar setengah dari pasien TB dan keluarganya harus mengeluarkan biaya tambahan (termasuk biaya medis dan nonmedis) yang melampaui 20% pendapatan tahunan rumah tangga mereka. Bahkan di negara-negara dengan layanan pengobatan TB gratis yang dilengkapi saluran bantuan pangan, tantangan finansial masih menjadi hambatan dalam pemenuhan nutrisi yang diperlukan orang dengan tuberkulosis.
Tekanan finansial mempersulit akses mereka terhadap pangan bergizi secara memadai dan pada akhirnya memperburuk kondisi malnutrisi pasien TB.
Butuh pendekatan sistematis
Di Indonesia, upaya penanganan tuberkulosis lewat pemenuhan pangan dan gizi perlu dilakukan secara multisektoral—yang mengintegrasikan sektor kesehatan, pertanian, dan kesejahteraan sosial.
Program nasional untuk eliminasi TB dapat diintegrasikan dengan kebijakan pangan dan gizi seperti yang dilakukan di berbagai negara dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di antaranya:
1. Bantuan tunai dan pangan
Meski penyaluran bantuan pangan mungkin tidak selalu menjadi solusi terbaik, program ini masih menjadi pendekatan utama untuk mengatasi masalah gizi pada pasien TB. Pendekatan sosial serupa sebenarnya telah diterapkan di Indonesia, melalui program cash transfer hingga food basket (keranjang pangan) yang bertujuan membantu mengatasi kerawanan pangan dan masalah gizi pasien TB.
Namun, sederet program tersebut perlu dilakukan dalam kerangka sistem pangan. Tujuannya agar benar-benar bisa mengatasi kerawanan pangan dan gizi, serta memperoleh dampak positif jangka panjang. Di sinilah kolaborasi antara sektor kesehatan, bidang pertanian, dan lembaga pemerintah terkait menjadi sangat penting.
2. Gencarkan promosi dan edukasi
Pemerintah perlu gencar mempromosikan praktik pertanian yang mendorong keragaman dan kualitas pangan, peningkatan akses masyarakat rentan terhadap pangan bergizi, hingga edukasi untuk mengonsumsi pangan lokal kepada masyarakat. Ini dilakukan mulai dari unit layanan masyarakat terkecil, seperti puskesmas.
Tenaga kesehatan pun perlu mempertimbangkan isu kerawanan pangan dan gizi saat merawat pasien TB, agar pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang holistik dan komprehensif.
Dengan komitmen dan usaha kolektif dari berbagai pemangku kepentingan, kita dapat memastikan setiap orang (termasuk pasien TB dan keluarganya) memiliki akses pangan bergizi, mendukung pola makan sehat, serta mengatasi tantangan sosial ekonomi yang meningkatkan risiko masalah TB.
Sepriani Timurtini Limbong, Co-founder and Director of Partnership, Foodagogik
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Leave a Reply